Sejarah dan Internalisasi Nilai-nilai Perjuangan Pangeran Diponegoro




BA         PENDAHULUAN
Banyak tulisan tentang Diponegoro atau Perang Jawa telah dibuat, baik oleh  penulis asing maupun domestik. Namun demikian, ibarat mata air dia tak ada habis-habisnya untuk ditimba. Kajian tentangnya terus mengalir dan nampaknya tidak akan pernah tuntas.  Di lahirkan pada 11 November 1785 Masehi, sosok Pangeran Diponegoro sangat berarti bagi bangsa Indonesia, beliau merupakan salah satu dari banyak pejuang yang dahulu ikut memperjuangkan dan berusaha merebut serta mengembalikan kembali martabat bangsa Indonesia dari genggaman penjajah tepatnya pada masa kolonial Belanda. Pangeran Diponegoro memiliki peran yang sangat penting pada masa perjuangannya bagi bangsa Indonesia, Tidak heran apabila ideologi politik dan sejarahnya menjadi sumber atas dasar dan martabat dari bangsa Indonesia. 

Namun di era globalisasi sekarang, semangat perjuangan semakin luntur di karenakan bergesernya nilai-nilai perjuangan. Yang ada sekarang kebanyakan orang lebih mengedepankan kepentingan pribadi ataupun golongan. Sikap yang di terapkan oleh Pangeran Diponegoro juga belum sepenuhnya dapat di hayati serta di terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tulisan ini akan mencoba menyoroti sosok Pangeran Diponegoro mulai dari masa remaja, masa penangkapan hingga masa pembuangan yang pernah di alami oleh Pangeran Diponegoro. Selain itu penulis juga sedikit akan mengulas suatu permasalahan yang muncul di kalangan masyarakat menyangkut tentang bagaimana nilai-nilai perjuangan Pangeran Diponegoro dapat di internalisasikan pada saat ini dan akan datang. 

Sejarah Pangeran Diponegoro
 a)        Masa Remaja
Diponegoro adalah putra sulung Sultan Jogya, Sultan  HB III atau Sultan Raja dari seorang selir. Dengan demikian dia adalah cucu Sultan HB II (Sultan Sepuh) dan cicit Sultan HB I (Sultan Swargi).  Ibunya disebut-sebut bernama R.A. Mangkarawati yang menurut Peter Carey asal-usulnya masih kabur. Dikatakan  putri itu berasal dari Majasta di daerah Pajang, dekat  makam keramat Tembayat. Dalam naskah lain Carey mengatakan dia adalah keturunan Ki Ageng Prampelan dari Pajang.
Sagimun MD (1986). memberitakan bahwa dia berasal dari Pacitan, putri seorang  Bupati yang konon masih berdarah Madura.  R. Tanojo dalam  Sadjarah Pangeran Dipanagara Darah Madura mengatakan bahwa darah Madura yang mengalir pada Diponegoro bukan berasal dari pihak ibu  tetapi justeru dari pihak ayah. Menurut silsilah, nenek Diponegoro, yakni Ratu Kedaton (permaisuri HB II) adalah generasi ke enam keturunan Pangeran Cakraningrat  dari Tunjung Madura (Tanojo).
  
 Nama asli Diponegoro adalah Raden Mas Mustahar. Dia lahir di keraton Jogyakarta pada hari Jum’at Wage, tanggal 7 Muharram Tahun Be atau 11 Nopember 1785 Masehi sebagai putera sulung Sultan HB III (Carey, 1991).  Pada tahun 1805  Sultan HB II mengganti namanya  menjadi Raden Mas Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar pangeran baru disandangnya  sejak  tahun 1812  ketika ayahnya naik takhta.
Nama Diponegoro mengingatkan orang pada seorang tokoh dalam Babad Tanah Jawi. yakni Raden Mas Sungkawa, putra Sunan Paku Buwono I  (1704-1719) dari Surakarta,  yang juga bergelar Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1718 dia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan di Jawa Timur bersama Tumenggung Jayapuspita. Setelah berhasil menguasai daerah di sebelah timur Gunung Lawu sampai Blambangan,  dia lalu mengangkat dirinya menjadi Panembahan Herucokro Senopati ing Ngalogo Ngabdur-Rakhman Sahidin Panatagama. Di masa Sunan Amangkurat I (1719-1727)   istananya pindah dari Madiun ke Padonan, dekat Sukowati. Ketika ditinggalkan saudara-saudaranya, yakni Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar, istananya pindah ke Semanggi, sampai akhirnya pada tahun 1723 dia ditangkap Belanda dan dibuang ke Tanjung Harapan (Olthof, 1941;Yamin, 1952).
     Walaupun Pangeran Diponegoro putra raja, namun dia dibesarkan di luar tembok kraton, di lingkungan pedesaan Tegalrejo, dibawah asuhan nenek buyutnya, Kanjeng Ratu Ageng (janda mendiang Sultan HB I).  Dalam naskah babad dikisahkan : beberapa hari  setelah Diponegoro lahir, Sultan HB I  minta pada isterinya untuk melihat cicitnya tersebut.  Sambil mengamati bayi di pangkuannya Sultan HB I  berkata : bahwa kelak anak tersebut akan menjadi tokoh yang jauh lebih besar dari dirinya, dan akan menimbulkan kerusakan besar pada Belanda  Selanjutnya Sultan minta agar isterinya merawat sendiri bayi tersebut (Carey, 1991). 
     
 Sepeninggal suaminya, Ratu Ageng membawa cicitnya ke kediamannya di Tegalrejo, sebuah desa terpencil beberapa kilometer di arah barat daya istana Jogyakarta. Di sanalah Diponegoro dibesarkan dan dididik sebagai layaknya bangsawan  Jawa, sekaligus seorang santri yang taat beragama. Banyak penulis mengatakan bahwa kehidupan sehari-hari Diponegoro banyak mencontoh dan mengikuti sifat serta perilaku Nabi. Hidupnya amat bersahaja, baik dalam cara berpakaian, makan maupun pergaulannya dengan orang kecil. Dikisahkan dia sering menyamar sebagai orang kebanyakan, mengenakan ikat kepala dan kain wulung dan berbaju hitam. Dia sering bergabung dengan santri di pondok-pondok pesantren di pedesaan dengan nama samaran Ngabdurakhim. Di saat samarannya hampir terbongkar, dia segera pindah ke pondok pesantren yang lain. Selain itu dia juga suka mengembara, masuk ke luar hutan dan tinggal di gua-gua untuk bertapa (Chalwat).     
   Cara hidup demikian ini nampaknya menjadi pola umum  yang berlaku di kalangan pemuda di masa itu. Dikarenakan sampai dengan masa pemerintahan Sultan HB II masyarakat Jogyakarta masih diliputi oleh eforia kemenangan perang Mangukubumi. maka upaya memperdalam ilmu kanuragan, ketrampilan bermain senjata, menunggang kuda, juga landasan laku batin, seperti tirakat, puasa, bertapa di gua keramat mendapat tempat khusus di kalangan anak muda. Sesuai dengan  situasi dan kondisi jamannya, Diponegoro muda  tentunya juga  tidak terlepas dari kebiasaan yang berlaku saat itu.

b)            Masa Penangkapan
Perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda menjadi dasar dan latar belakang dari perjuangan rakyat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan, persatuan dan martabat bangsa. Penangkapanan Diponegoro yang diakibatkan oleh pengkhiatan (walaupun sebelumnya dijanjikan keselamatan atas dirinya), merupakan momen bersejarah bagi bangsa Jawa/Indonesia. Tidak mengherankan apabila ideologi politik dan sejarahnya menjadi sumber atas dasar dan martabat dari bangsa Indonesia. Berikut ada beberapa peristiwa penangkapan dan pengasingan Pangeran Diponegoro dalam masa perjuangannya :
·           16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
·           28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
·           11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
·           30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
·           3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
·           1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
·           8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.

c)            Masa Pembuangan
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855. Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
PERMASALAHAN
Bagaimana Nilai-Nilai Perjuangan Pangeran Diponegoro dapat di Internalisasikan Pada Saat Ini dan Akan Datang.
Nilai-nilai perjuangan Pangeran Diponegoro dianggap penting untuk diteruskan sebagai semangat pembangunan dan pendidikan karakter bangsa.  Dilahirkan dari keluarga Kesultanan Yogyakarta, memiliki jiwa kepemimpinan dan kepahlawanan. Hatinya yang bersih dan sebagai seorang pangeran akhirnya menuntunnya menjadi seorang yang harus tampil di depan guna membela kehormatan keluarga, kerajaan, rakyat dan bangsanya dari penjajahan Belanda.
Kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati, kepemimpinan, kepahlawanan, itulah barangkali sedikit sifat yang tertangkap bila menelusuri perjalanan perjuangan Pahlawan kita yang lahir di Yogyakarta tanggal 11 November 1785, ini.
Namun sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, era globalisasi, serta kemajuan teknologi di berbagai bidang, nilai-nilai nasionalisme seakan terkikis dan luntur. "Saat ini masyarakat lebih mementingkan pribadinya dan kelompoknya" sebut Prof. Sudharto Rektor Universitas Diponegoro Semarang. “http://mediaindonesia.com/”. Nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme bangsa ini telah menurun.

 PEMBAHASAN 
    Seperti yang sudah di sebutkan di atas, Nilai-nilai perjuangan Pangeran Diponegoro dianggap penting untuk diteruskan sebagai semangat pembangunan dan pendidikan karakter bangsa baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang. Bangsa ini memerlukan seseorang seperti Pangeran Diponegoro dengan keberanian, kesabaran, dan pengorbanannya menghadapi penjajah yang menyengsarakan rakyat. Maka di era saat ini kita juga memerlukan sosok-sosok yang memberikan harapan di tengah krisis. Mengubah hambatan menjadi peluang untuk meningkatkan kapasitas diri maupun memberikan pengaruh yang positif pada masyarakat. Lalu, langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk menumbuhkan dan menginternalisasikan nilai-nilai perjuangan Pangeran Diponegoro tersebut ?

Salah satunya adalah dengan cara pemberian materi pembekalan soal kepahlawanan Diponegoro baik di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun di lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Universitas Diponegoro Semarang salah satunya, di kutip dari situs Media Indonesia, di beritakan bahwa undip akan segera mendirikan Pusat Dokumentasi dan Informasi Diponegoro. Pendirian wadah ini untuk mengkaji nilai-nilai luhur dan perjuangan pahlawan Pangeran Diponegoro. Menurut Rektor, pusat kajian ini akan berdiri pada 2012. Namun pembekalan kepada mahasiswa mengenai nilai-nilai perjuangan tersebut akan dilakukan mulai tahun ajaran baru 2011. Selain itu, diperlukan adanya sebuah manajemen nilai dalam diri individu agar bisa membentuk pola berfikir yang lebih moderat dalam memposisikan nilai-nilai perjuangan, sehingga modernisasi negatif dan egoisme kultural bisa ditekan dan diminimalisir dalam diri seorang individu.


Dengan manajemen nilai, berarti segala nilai-nilai perjuangan yang masuk, proses internalisasinya bisa diatur pergerakannya agar bisa fleksibel, dalam arti ketika nilai-nilai itu mulai mendarah daging, individu harus mengatrolnya agar tidak masuk lebih dalam lagi. Sebaliknya ketika, nilai-nilai perjuangan mulai hilang karena pengaruh budaya lain/asing yang masuk ke dalam diri seorang individu, proses internalisasi mulai ditumbuhkan kembali agar seorang individu tidak menjadi kacang yang lupa dengan kulitnya. Selanjutnya, usaha yang perlu di lakukan dalam rangka menanamkan kembali nilai-nilai perjuangan pahlawan untuk meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa juga dapat di lakukan dengan penyadaran. .    Penyadaran, pengenalan dan penafsiran kembali Ideologi terbuka Pancasila sebagai nilai-nilai yang harus diperjuangkan dan Landasan Konstitusional UUD.45 sebagai garis perjuangan, pada seluruh lapisan masyarakat.

 KESIMPULAN & SARAN
Dari paparan di atas dapat di simpulkan bahwa sosok Pangeran Diponegoro merupakan tokoh sentral dalam sejarah perang jawa 1825-1830 sekaligus merupakan dasar perjuangan Bangsa Indonesia untuk membentuk karakter bangsa yang bermartabat. Sifat yang di tunjukkan Pangeran Diponegoro, yang memiliki Kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati, kepemimpinan, kepahlawanan sungguh di perlukan oleh bangsa Indonesia, sosok seperti inilah yang akan membawa perubahan positif terhadap sendi-sendi kehidupan suatu negara, berani dan rela berkorban.
Di zaman globalisasi sekarang, perlu di tanamkan kembali nilai-nilai nasinalisme dan patriotisme guna membangun karakter bangsa yang setiap masyarakatnya bisa memberikan kontribusi dan mampu mengubah hambatan menjadi sebuah peluang. Dengan demikian internalisasi nilai-nilai perjuangan Pangeran Diponegoro sangat perlu di tekankan. Cara-cara yang dapat di tempuh antara lain :
·         pemberian materi pembekalan soal kepahlawanan Diponegoro baik di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun di lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
·         Menumbuhkan manajemen nilai dalam diri  setiap individu
·         Penyadaran
·         pengenalan dan penafsiran kembali Ideologi terbuka Pancasila sebagai nilai-nilai yang harus diperjuangkan, dan lain-lain.

0 komentar:

Posting Komentar