Sejarah dan Internalisasi Nilai-nilai Perjuangan Pangeran Diponegoro
Jumat, 23 September 2011
BA PENDAHULUAN
Banyak tulisan tentang Diponegoro atau Perang Jawa telah
dibuat, baik oleh penulis asing maupun
domestik. Namun demikian, ibarat
mata air dia tak ada habis-habisnya untuk ditimba. Kajian tentangnya terus
mengalir dan nampaknya tidak akan pernah tuntas. Di lahirkan pada 11 November
1785 Masehi, sosok Pangeran Diponegoro sangat berarti bagi bangsa Indonesia,
beliau merupakan salah satu dari banyak pejuang yang dahulu ikut memperjuangkan
dan berusaha merebut serta mengembalikan kembali martabat bangsa Indonesia dari
genggaman penjajah tepatnya pada masa kolonial Belanda. Pangeran Diponegoro
memiliki peran yang sangat penting pada masa perjuangannya bagi bangsa
Indonesia, Tidak heran apabila ideologi politik dan sejarahnya menjadi sumber
atas dasar dan martabat dari bangsa Indonesia.
Namun
di era globalisasi sekarang, semangat perjuangan semakin luntur di karenakan
bergesernya nilai-nilai perjuangan. Yang ada sekarang kebanyakan orang lebih
mengedepankan kepentingan pribadi ataupun golongan. Sikap yang di terapkan oleh
Pangeran Diponegoro juga belum sepenuhnya dapat di hayati serta di terapkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Tulisan
ini akan mencoba menyoroti sosok Pangeran Diponegoro mulai dari masa remaja,
masa penangkapan hingga masa pembuangan yang pernah di alami oleh Pangeran
Diponegoro. Selain itu penulis juga sedikit akan mengulas suatu permasalahan
yang muncul di kalangan masyarakat menyangkut tentang bagaimana nilai-nilai
perjuangan Pangeran Diponegoro dapat di internalisasikan pada saat ini dan akan
datang.
Sejarah Pangeran Diponegoro
a)
Masa Remaja
Diponegoro
adalah putra sulung Sultan Jogya, Sultan
HB III atau Sultan Raja dari seorang selir. Dengan demikian dia adalah
cucu Sultan HB II (Sultan Sepuh) dan cicit Sultan HB I (Sultan Swargi). Ibunya disebut-sebut bernama R.A.
Mangkarawati yang menurut Peter Carey asal-usulnya masih kabur. Dikatakan putri itu berasal dari Majasta di daerah
Pajang, dekat makam keramat Tembayat.
Dalam naskah lain Carey mengatakan dia adalah keturunan Ki Ageng Prampelan dari
Pajang.
Sagimun
MD (1986). memberitakan bahwa dia berasal dari Pacitan, putri seorang Bupati yang konon masih berdarah Madura. R. Tanojo dalam Sadjarah Pangeran Dipanagara Darah Madura
mengatakan bahwa darah Madura yang mengalir pada Diponegoro bukan berasal dari
pihak ibu tetapi justeru dari pihak
ayah. Menurut silsilah, nenek Diponegoro, yakni Ratu Kedaton (permaisuri HB II)
adalah generasi ke enam keturunan Pangeran Cakraningrat dari Tunjung Madura (Tanojo).
Nama asli Diponegoro adalah Raden Mas
Mustahar. Dia lahir di keraton Jogyakarta pada hari Jum’at Wage, tanggal 7
Muharram Tahun Be atau 11 Nopember 1785 Masehi sebagai putera sulung Sultan HB
III (Carey, 1991). Pada tahun 1805 Sultan HB II mengganti namanya menjadi Raden Mas Ontowiryo. Adapun nama
Diponegoro dan gelar pangeran baru disandangnya
sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta.
Nama Diponegoro mengingatkan orang pada seorang tokoh
dalam Babad Tanah Jawi. yakni Raden Mas Sungkawa, putra Sunan Paku Buwono
I (1704-1719) dari Surakarta, yang juga bergelar Pangeran Diponegoro. Pada
tahun 1718 dia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan di Jawa Timur bersama
Tumenggung Jayapuspita. Setelah berhasil menguasai daerah di sebelah timur
Gunung Lawu sampai Blambangan, dia lalu
mengangkat dirinya menjadi Panembahan Herucokro Senopati ing Ngalogo Ngabdur-Rakhman
Sahidin Panatagama. Di masa Sunan Amangkurat I (1719-1727) istananya pindah dari Madiun ke Padonan,
dekat Sukowati. Ketika ditinggalkan saudara-saudaranya, yakni Pangeran Purbaya
dan Pangeran Blitar, istananya pindah ke Semanggi, sampai akhirnya pada tahun
1723 dia ditangkap Belanda dan dibuang ke Tanjung Harapan (Olthof, 1941;Yamin,
1952).
Walaupun
Pangeran Diponegoro putra raja, namun dia dibesarkan di luar tembok kraton, di
lingkungan pedesaan Tegalrejo, dibawah asuhan nenek buyutnya, Kanjeng Ratu
Ageng (janda mendiang Sultan HB I).
Dalam naskah babad dikisahkan : beberapa hari setelah Diponegoro lahir, Sultan HB I minta pada isterinya untuk melihat cicitnya
tersebut. Sambil mengamati bayi di
pangkuannya Sultan HB I berkata : bahwa
kelak anak tersebut akan menjadi tokoh yang jauh lebih besar dari dirinya, dan
akan menimbulkan kerusakan besar pada Belanda
Selanjutnya Sultan minta agar isterinya merawat sendiri bayi tersebut
(Carey, 1991).
Sepeninggal suaminya, Ratu Ageng membawa cicitnya ke
kediamannya di Tegalrejo, sebuah desa terpencil beberapa kilometer di arah barat daya istana Jogyakarta. Di sanalah Diponegoro
dibesarkan dan dididik sebagai layaknya bangsawan Jawa, sekaligus seorang santri yang taat
beragama. Banyak penulis mengatakan bahwa kehidupan sehari-hari
Diponegoro banyak mencontoh dan mengikuti sifat serta perilaku Nabi. Hidupnya
amat bersahaja, baik dalam cara berpakaian, makan maupun pergaulannya dengan
orang kecil. Dikisahkan dia sering menyamar sebagai orang kebanyakan,
mengenakan ikat kepala dan kain wulung dan berbaju hitam. Dia sering bergabung
dengan santri di pondok-pondok pesantren di pedesaan dengan nama samaran
Ngabdurakhim. Di saat samarannya hampir terbongkar, dia segera pindah ke pondok
pesantren yang lain. Selain itu dia juga suka mengembara, masuk ke luar hutan
dan tinggal di gua-gua untuk bertapa (Chalwat).
Cara hidup demikian ini nampaknya menjadi
pola umum yang berlaku di kalangan
pemuda di masa itu. Dikarenakan sampai dengan masa pemerintahan Sultan HB II
masyarakat Jogyakarta masih diliputi oleh eforia kemenangan perang Mangukubumi.
maka upaya memperdalam ilmu kanuragan, ketrampilan bermain senjata, menunggang
kuda, juga landasan laku batin, seperti tirakat, puasa, bertapa di gua keramat
mendapat tempat khusus di kalangan anak muda. Sesuai dengan situasi dan kondisi jamannya, Diponegoro muda tentunya juga
tidak terlepas dari kebiasaan yang berlaku saat itu.
b) Masa Penangkapan
b) Masa Penangkapan
Perlawanan
Pangeran Diponegoro terhadap Belanda menjadi dasar dan latar belakang dari
perjuangan rakyat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan, persatuan dan
martabat bangsa. Penangkapanan Diponegoro yang diakibatkan oleh pengkhiatan
(walaupun sebelumnya dijanjikan keselamatan atas dirinya), merupakan momen
bersejarah bagi bangsa Jawa/Indonesia. Tidak mengherankan apabila ideologi
politik dan sejarahnya menjadi sumber atas dasar dan martabat dari bangsa Indonesia.
Berikut ada beberapa peristiwa penangkapan dan pengasingan Pangeran Diponegoro
dalam masa perjuangannya :
Diperoleh dari “http://id.wikipedia.org/wiki/Pangeran_Diponegoro”
·
16 Februari 1830
Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen
(sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran
dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan
Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
·
28 Maret 1830
Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan
perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu
ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti.
Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa
ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal
Pollux pada 5 April.
·
11 April 1830 sampai
di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil
menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
·
30 April 1830
keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung
Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng
Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
·
3 Mei 1830 Diponegoro
dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di
benteng Amsterdam.
·
1834 dipindahkan ke
benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
·
8 Januari 1855
Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
c)
Masa Pembuangan
Pada tahun 1827, Belanda melakukan
penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga
Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual
pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima
utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28
Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang.
Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat
sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan
diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di
Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855. Berakhirnya Perang Jawa yang
merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan
korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa,
7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah
penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton
Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak
diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi
amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan
yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk
Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan
diusir.
PERMASALAHAN
PERMASALAHAN
Bagaimana
Nilai-Nilai Perjuangan Pangeran Diponegoro dapat di Internalisasikan Pada Saat
Ini dan Akan Datang.
Nilai-nilai
perjuangan Pangeran Diponegoro dianggap penting untuk diteruskan sebagai
semangat pembangunan dan pendidikan karakter bangsa. Dilahirkan dari keluarga Kesultanan
Yogyakarta, memiliki jiwa kepemimpinan dan kepahlawanan. Hatinya yang bersih
dan sebagai seorang pangeran akhirnya menuntunnya menjadi seorang yang harus
tampil di depan guna membela kehormatan keluarga, kerajaan, rakyat dan bangsanya
dari penjajahan Belanda.
Kejujuran,
kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati, kepemimpinan, kepahlawanan,
itulah barangkali sedikit sifat yang tertangkap bila menelusuri perjalanan
perjuangan Pahlawan kita yang lahir di Yogyakarta tanggal 11 November 1785,
ini.
Namun
sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, era globalisasi, serta kemajuan
teknologi di berbagai bidang, nilai-nilai nasionalisme seakan terkikis dan
luntur. "Saat ini masyarakat lebih mementingkan pribadinya dan kelompoknya"
sebut Prof. Sudharto Rektor Universitas Diponegoro Semarang. “http://mediaindonesia.com/”. Nilai-nilai
nasionalisme dan patriotisme bangsa ini telah menurun.
PEMBAHASAN
Seperti yang sudah di sebutkan di atas, Nilai-nilai perjuangan Pangeran Diponegoro dianggap penting untuk diteruskan sebagai semangat pembangunan dan pendidikan karakter bangsa baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang. Bangsa ini memerlukan seseorang seperti Pangeran Diponegoro dengan keberanian, kesabaran, dan pengorbanannya menghadapi penjajah yang menyengsarakan rakyat. Maka di era saat ini kita juga memerlukan sosok-sosok yang memberikan harapan di tengah krisis. Mengubah hambatan menjadi peluang untuk meningkatkan kapasitas diri maupun memberikan pengaruh yang positif pada masyarakat. Lalu, langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk menumbuhkan dan menginternalisasikan nilai-nilai perjuangan Pangeran Diponegoro tersebut ?
Salah
satunya adalah dengan cara pemberian materi pembekalan soal kepahlawanan
Diponegoro baik di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun di lembaga-lembaga
pendidikan lainnya. Universitas Diponegoro Semarang salah satunya, di kutip
dari situs Media Indonesia, di beritakan bahwa undip akan segera
mendirikan Pusat Dokumentasi dan Informasi Diponegoro. Pendirian wadah ini
untuk mengkaji nilai-nilai luhur dan perjuangan pahlawan Pangeran Diponegoro. Menurut
Rektor, pusat kajian ini akan berdiri pada 2012. Namun pembekalan kepada
mahasiswa mengenai nilai-nilai perjuangan tersebut akan dilakukan mulai tahun
ajaran baru 2011. Selain itu, diperlukan adanya sebuah manajemen nilai dalam
diri individu agar bisa membentuk pola berfikir yang lebih moderat dalam memposisikan
nilai-nilai perjuangan, sehingga modernisasi negatif dan egoisme kultural bisa
ditekan dan diminimalisir dalam diri seorang individu.
Dengan
manajemen nilai, berarti segala nilai-nilai perjuangan yang masuk, proses
internalisasinya bisa diatur pergerakannya agar bisa fleksibel, dalam arti
ketika nilai-nilai itu mulai mendarah daging, individu harus mengatrolnya agar
tidak masuk lebih dalam lagi. Sebaliknya ketika, nilai-nilai perjuangan mulai
hilang karena pengaruh budaya lain/asing yang masuk ke dalam diri seorang
individu, proses internalisasi mulai ditumbuhkan kembali agar seorang individu
tidak menjadi kacang yang lupa dengan kulitnya. Selanjutnya, usaha yang perlu
di lakukan dalam rangka menanamkan kembali nilai-nilai perjuangan pahlawan
untuk meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa juga dapat di lakukan
dengan penyadaran. .
Penyadaran, pengenalan dan penafsiran kembali Ideologi terbuka Pancasila
sebagai nilai-nilai yang harus diperjuangkan dan Landasan Konstitusional UUD.45
sebagai garis perjuangan, pada seluruh lapisan masyarakat.
KESIMPULAN & SARAN
KESIMPULAN & SARAN
Dari
paparan di atas dapat di simpulkan bahwa sosok Pangeran Diponegoro merupakan
tokoh sentral dalam sejarah perang jawa 1825-1830 sekaligus merupakan dasar perjuangan
Bangsa Indonesia untuk membentuk karakter bangsa yang bermartabat. Sifat yang
di tunjukkan Pangeran Diponegoro, yang memiliki Kejujuran,
kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati, kepemimpinan, kepahlawanan
sungguh di perlukan oleh bangsa Indonesia, sosok seperti inilah yang akan
membawa perubahan positif terhadap sendi-sendi kehidupan suatu negara, berani
dan rela berkorban.
Di
zaman globalisasi sekarang, perlu di tanamkan kembali nilai-nilai nasinalisme
dan patriotisme guna membangun karakter bangsa yang setiap masyarakatnya bisa
memberikan kontribusi dan mampu mengubah hambatan menjadi sebuah peluang.
Dengan demikian internalisasi nilai-nilai perjuangan Pangeran Diponegoro sangat
perlu di tekankan. Cara-cara yang dapat di tempuh antara lain :
·
pemberian materi
pembekalan soal kepahlawanan Diponegoro baik di Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
maupun di lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
·
Menumbuhkan manajemen
nilai dalam diri setiap individu
·
Penyadaran
·
pengenalan dan
penafsiran kembali Ideologi terbuka Pancasila sebagai nilai-nilai yang harus
diperjuangkan, dan lain-lain.
Label: Sejarah
0 komentar:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)