Sejarah Pemikiran Umat Manusia (Rasionalisme dan Empirisme)
Minggu, 15 Juli 2012
Sering kita mendengar kata rasionalisme dan
empirisme tapi tidak sedikit pula diantara kita yang belum mengetahui kedua hal
tersebut. Kita semua tahu bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya selalu
berpikir, setiap hari, setiap waktu dan kapan saja selama ia masih bisa
berpikir dengan menggunakan akal sehatnya.
Disini saya ingin mengajak rekan-rekan semua untuk
bercerita lebih jauh mengenai sejarah pemikiran kita umat manusia yang
menghasilkan sesuatu yang kita sebut dengan pengetahuan. Selanjutanya, untuk
mengetahui lebih jauh maka penulis akan mengarahkan pemikiran tadi ke dalam
konteks yang lebih khusus yaitu ke arah metode keilmuan (Metode Ilmiah).
Manusia adalah mahluk yang selalu berpikir, simbol
dari ini semua adalah patung hasil seniman A Rodin yang dilambangkan dengan
manusia yang sedang duduk dan termenung. Setiap pemikiran tadi mengahsilkan apa
yang kita sebut dengan pengetahuan. Pengetahuan itulah yang sampai saat ini
menjadi obor dan semen dalam menjalani kehidupan kita saat ini. Dalam
perkembangannya, pengetahuan-pengetahuan tadi kemudian digabungkan menjadi satu
dan dinamakan Ilmu Pengetahuan.
Metode keilmuan merupakan metode yang digunakan para
peneliti untuk memperoleh kajian tentang suatu objek tertentu. Dalam prosesnya,
terdapat dua hal yang menjadi jembatan dalam memperolehnya yaitu rasionalis dan
empirime.
Rasionalisme
Rasionalsme adalah suatu paham yang menganggap bahwa
semua ilmu pengetahuan itu diperoleh melalui proses berpikir secara rasional
dan sistematis. Paham ini ingin mengatakan bahwa sebenarnya ilmu itu sudah
tertanam dibenak umat manusia tinggal bagaimana caranya manusia itu dapat
menggali dan memahami semua itu secara akal atau rasio. Secara ringkas, cara
ini telah memberikan suatu kerangka berpikir secara koheran dan logis. Dengan
metode berpikir deduksi, metode ini menghantarkan kita pada suatu pemahaman
mengenai suatu objek tertentu yang kita kaji. Dalam proses penelitian misalnya,
kita mengenal adanya hipotesis sebagai dugaan sementara yang menjadi pedoman
kita selama proses penelitian. Disini rasionalis lah yang memnghasilakan
hipotesis tersebut.
Hanya saja, dalam proses penggalian ilmu pengetahuan
tersebut ternyata rasionalisme ini belum mampu memberikan hal yang konkret yang
dapat kita lihat secara kasat mata. Semua yang disajikan adalah dalam bentuk
yang abstrak, inilah yang menjadi titik kelemahan dalam rasionalisme. Bertolak
belakang dengan paham empirisme yang menyakini bahwasanya ilmu pengetahuan yang
kita peroleh adalah dalam bentuk pengalaman semua yang kita peroleh melalui
panca indera.
Empirisme
Setelah sadar bahwa gagasan rasionalis tadi belum
mampu menciptakan ilmu pengetahuan, maka timbulah gagasan untuk kembali pada
metode/paham empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan kita peroleh melalui
panca indera. Memang, cara ini telah berhasil memberikan bukti-bukti konkret
mengenai apa yang kita alami dan kita rasakan. Oleh karena ilmu pengetahuan
sangat menjunjung tinggi kebenaran, maka banyak golongan yang mengganggap
metode ini yang paling tepat.
Tetapi, tidak sedikit pula golongan-golongan
tertentu yang tidak setuju dengan empirisme. Pasalnya, dengan empirisme ini
bisa saja terjadi salah penafsiran. Panca indera kita yang terbatas bisa saja
membawa kita ke arah yang buruk. Contohnya saja ketika kita memasukkan sebatang
pensil yang lurus ke dalam gelas yang berisi air. Maka pensil tadi akan tampak
patah. Selain itu, jika hanya berupa sebuah pengalaman tanpa diiringi
penafsiran yang sungguh-sungguh, maka apa yang kita lihat dan rasakan tadi
hanyalah berupa sesuatu yang tak berguna dan tak berarti apa-apa.
Metode Keilmuwan
Bosan dengan debat yang berkepanjangan, maka para
ilmuwan berupaya mencari jalan keluar bagi penelitian. Tidak hanya dapat
dipikirkan secara rasio tetapi juga dabat dibuktikan secara real. Maka
timbullah gagasan untuk menggabungkan kedua paham tadi menjadi satu yang kita
kenal dengan metode keilmuwan sekarang. Disini, rasionalisme dan empirime
dilebur menjadi satu. Rasionalisme menyumbangkan kerangka berpikir yang koheren
dan logis sedang empiris berperan dalam pengujian Ha/Ho dalam proses
penelitian. Dua elemen ini sampai sekarang masih berperan penting dalam proses
penciptaan ilmu pengetahuan.
Hanya saja, metode keilmuwan ini juga memiliki
kelemahan yang memang susah untuk di perbaiki. Bagaimanapun juga panca indera
kita terbatas. Barangkali inilah yang seharusnya kita terima dari metode
tersebut sebagai konsekuensi empirisme. Nampaknya, masih perlu kita mencari
elemen epistemologis guna menggali ilmu pengetahuan secara lebih tepat dan bisa
dipertanggung jawabkan. Seperti yang kita tahu, ilmu tidak bebas nilai, ilmu
selalu terikat dengan nilai. Berbeda dengan “cara” memperoleh ilmu pengetahuan,
hal ini tidak masalah. Pragmatisme dan skeptisme selalu beriringan.
Label: Tulisanku
0 komentar:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)