Sejarah Pemikiran Umat Manusia (Rasionalisme dan Empirisme)

Sering kita mendengar kata rasionalisme dan empirisme tapi tidak sedikit pula diantara kita yang belum mengetahui kedua hal tersebut. Kita semua tahu bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya selalu berpikir, setiap hari, setiap waktu dan kapan saja selama ia masih bisa berpikir dengan menggunakan akal sehatnya.

Disini saya ingin mengajak rekan-rekan semua untuk bercerita lebih jauh mengenai sejarah pemikiran kita umat manusia yang menghasilkan sesuatu yang kita sebut dengan pengetahuan. Selanjutanya, untuk mengetahui lebih jauh maka penulis akan mengarahkan pemikiran tadi ke dalam konteks yang lebih khusus yaitu ke arah metode keilmuan (Metode Ilmiah).

Manusia adalah mahluk yang selalu berpikir, simbol dari ini semua adalah patung hasil seniman A Rodin yang dilambangkan dengan manusia yang sedang duduk dan termenung. Setiap pemikiran tadi mengahsilkan apa yang kita sebut dengan pengetahuan. Pengetahuan itulah yang sampai saat ini menjadi obor dan semen dalam menjalani kehidupan kita saat ini. Dalam perkembangannya, pengetahuan-pengetahuan tadi kemudian digabungkan menjadi satu dan dinamakan Ilmu Pengetahuan.

Metode keilmuan merupakan metode yang digunakan para peneliti untuk memperoleh kajian tentang suatu objek tertentu. Dalam prosesnya, terdapat dua hal yang menjadi jembatan dalam memperolehnya yaitu rasionalis dan empirime.

Rasionalisme
Rasionalsme adalah suatu paham yang menganggap bahwa semua ilmu pengetahuan itu diperoleh melalui proses berpikir secara rasional dan sistematis. Paham ini ingin mengatakan bahwa sebenarnya ilmu itu sudah tertanam dibenak umat manusia tinggal bagaimana caranya manusia itu dapat menggali dan memahami semua itu secara akal atau rasio. Secara ringkas, cara ini telah memberikan suatu kerangka berpikir secara koheran dan logis. Dengan metode berpikir deduksi, metode ini menghantarkan kita pada suatu pemahaman mengenai suatu objek tertentu yang kita kaji. Dalam proses penelitian misalnya, kita mengenal adanya hipotesis sebagai dugaan sementara yang menjadi pedoman kita selama proses penelitian. Disini rasionalis lah yang memnghasilakan hipotesis tersebut.

Hanya saja, dalam proses penggalian ilmu pengetahuan tersebut ternyata rasionalisme ini belum mampu memberikan hal yang konkret yang dapat kita lihat secara kasat mata. Semua yang disajikan adalah dalam bentuk yang abstrak, inilah yang menjadi titik kelemahan dalam rasionalisme. Bertolak belakang dengan paham empirisme yang menyakini bahwasanya ilmu pengetahuan yang kita peroleh adalah dalam bentuk pengalaman semua yang kita peroleh melalui panca indera.

Empirisme
Setelah sadar bahwa gagasan rasionalis tadi belum mampu menciptakan ilmu pengetahuan, maka timbulah gagasan untuk kembali pada metode/paham empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan kita peroleh melalui panca indera. Memang, cara ini telah berhasil memberikan bukti-bukti konkret mengenai apa yang kita alami dan kita rasakan. Oleh karena ilmu pengetahuan sangat menjunjung tinggi kebenaran, maka banyak golongan yang mengganggap metode ini yang paling tepat.

Tetapi, tidak sedikit pula golongan-golongan tertentu yang tidak setuju dengan empirisme. Pasalnya, dengan empirisme ini bisa saja terjadi salah penafsiran. Panca indera kita yang terbatas bisa saja membawa kita ke arah yang buruk. Contohnya saja ketika kita memasukkan sebatang pensil yang lurus ke dalam gelas yang berisi air. Maka pensil tadi akan tampak patah. Selain itu, jika hanya berupa sebuah pengalaman tanpa diiringi penafsiran yang sungguh-sungguh, maka apa yang kita lihat dan rasakan tadi hanyalah berupa sesuatu yang tak berguna dan tak berarti apa-apa.

Metode Keilmuwan
Bosan dengan debat yang berkepanjangan, maka para ilmuwan berupaya mencari jalan keluar bagi penelitian. Tidak hanya dapat dipikirkan secara rasio tetapi juga dabat dibuktikan secara real. Maka timbullah gagasan untuk menggabungkan kedua paham tadi menjadi satu yang kita kenal dengan metode keilmuwan sekarang. Disini, rasionalisme dan empirime dilebur menjadi satu. Rasionalisme menyumbangkan kerangka berpikir yang koheren dan logis sedang empiris berperan dalam pengujian Ha/Ho dalam proses penelitian. Dua elemen ini sampai sekarang masih berperan penting dalam proses penciptaan ilmu pengetahuan.

Hanya saja, metode keilmuwan ini juga memiliki kelemahan yang memang susah untuk di perbaiki. Bagaimanapun juga panca indera kita terbatas. Barangkali inilah yang seharusnya kita terima dari metode tersebut sebagai konsekuensi empirisme. Nampaknya, masih perlu kita mencari elemen epistemologis guna menggali ilmu pengetahuan secara lebih tepat dan bisa dipertanggung jawabkan. Seperti yang kita tahu, ilmu tidak bebas nilai, ilmu selalu terikat dengan nilai. Berbeda dengan “cara” memperoleh ilmu pengetahuan, hal ini tidak masalah. Pragmatisme dan skeptisme selalu beriringan. 

0 komentar:

Posting Komentar